Tuesday, September 12, 2006

Kembalikan..

Hujan lebat membebat. Awan berselindung cair satu-persatu dipaksa menjadi air. Terjurai airmata awan. Simbah ke bumi menyembah laluan sungai. Aku masih kaku di bawah selimut. Tidur. Aku demam ayam. Tidak panas tidak sejuk. Tapi kepala memberat. Setelah menulis hampir separuh cerpen, aku keletihan. Aku tidur. Sedar saja sudah empat jam aku di alam mimpi yang penuh teka teki. Wow dahsyat…

Sudah tiga hari aku bersedih. Mujurlah kesedihan itu luput setelahku bangkit dalam kepayahan menyembahNya. Jam 3 pagi.. aku mohon padaNya bantuan di kala memerlukan, kekuatan di kala aku kelemahan. Kadang-kadang serasa tidak mampu.

Aku runsing benar. Barangku dipinjam orang, belum dipulangkan. Aku memerlukan barang itu. Aku perlu sangat. Sudah lama benar barang berharga itu dipinjaminya, sudah lebih dua tahun, mungkin sekarang sudah hampir tiga tahun. Bila mahu pulangkan? Takkanlah aku mahu merayau-rayau dan berterbangan di sekitar rumahnya umpama pontianak harum sundal malam. Mengekek di atas pohon tapi sesekali menangis sayu minta dipulangkan barang. Gilakah begitu? Atau macam mana harus aku minta padanya. Tidak tahu, sungguh tidak tahu. Bagaimana harus aku meminta kembali darpadanya supaya dia memulangkan barangku.

Barangku cuma satu. Tapi tanpa aku sengaja aku telah meminjamkannya. Dia mengambilnya tapi tiba-tiba kami terputus hubungan secara mendadak. Pada mulanya aku biarkan saja, tapi baru aku sedar barangku tiada bersamaku rupanya. Aku runsing benar. Barangku kehilangan dari tangan. Aku telah simpannya di tempat paling selamat. Tiada siapa aku benar menyentuhnya. Tapi dia seorang ini bijak benar memujuk. Tanpa sedar aku telah meminjamkannya.

Aku dihujani mesej dari seorang sahabat. Aku berduka dengannya, sudah putuskan tali persahabatan. Tidak mahu mengakui aku kawan? Ahh.. maafkan aku kawan. Aku sahabat jahat. Tidak mampu memenuhi segala permintaan. Hanya mampu mengintai dari kejauhan. Dia memesejku. Minta dikembalikan novel ‘Tunggu Teduh Dulu’. Aku akan pulangkannya segera, tapi maafkan aku, sekarang aku di negeri orang. Nanti pulang ke Kelantan, akan ku jejak Bukit Marak menghulur kembali novel yang telah aku pinjam sambil menghulur tali persahabatan. Aku malu alah. Memujuk orang yang tak sudi. Tiadakah maaf untukku kawan? Jika kau tahu keadaanku sebenar, mungkin kau sudi memaafkan..

Ya, aku akan pulangkan novel itu. Aku akan memberinya dengan cara yang paling baik sekali. Supaya tiada luka kembali terhiris. Dan menjahit jurang yang menitiskan airmatanya.

Barangnya boleh aku pulangkan. Kalau novel, baju , kain, buku masih boleh kupulangkan. Tapi bagaimana dengan barang aku. Mahukah kawan aku yang sorang itu memulangkan kembali padaku. Bagaimana mungkin. Aku tidak pasti. Perbalahan antara aku dengannya akibat fitnah berjela-jela dari seorang perempuan bongak. Lalu aku mempercayai kata-katanya. Aku keliru siapa penipu. Lalu tiba-tiba datang banjir besar membawa aku ke sini. Aku tidak mampu melawan, umpama tsunami hebatnya. Aku terputus dengannya sebelum dia sempat memulangkan barangku.

Pulangkanlah.. kerana aku tidak mampu bergembira tanpanya.

Pulangkanlah.. kerana barang itu cuma satu, tiada ganti.

Pulangkanlah.. tolong pulangkan.. tiada upaya aku meminta lagi.

Friday, September 08, 2006

Ratapan buat ayah..

Walaupun kisah ini hanya aku copy, tapi ia sejalur dengan hati aku, ratapannya ratapanku, dan rindu anak kecil itu adalah rinduku.. tangisannya milikku.



Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tak beraturan.

Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu. Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya. “Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.” Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini.”

Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makam ayahnya. “Gadis kecil yang bijak,” gumam Al-Bashri. “Aku akan ikuti gadis kecil itu.”

Gadis kecil itu tiba di makam ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri. “Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah? Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam?

Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?” “Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalam, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?”

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu. “Hai, gadis kecil jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, “Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah?

Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, Ayah?”

“Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?”

“Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?”

“Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?”

“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?”

“Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?” “Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata,”Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”

Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah (Al-Islam)